Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwwah
K.H. Rahmat 'Abdullah (Ketua Yayasan IQRO Bekasi)


Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW : "Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai." (HSR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah "La tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq". Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).
Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).
Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah : "Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi" (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan aqidah’, ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).
Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah
Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka "kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da'wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. "Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).
Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'-wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.
Ada seorang ikhwah sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana. "Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah pengantinku tercinta", tuturnya. Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da’wah telah mengelupas. Kala itu jarang da’i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?" Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da’wati" : Isteriku atau da’wahku ?".
Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya : "Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da’wah. Apa pantas sesudah da’wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da’wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da’wah tersebut sudah menikmati berkah da’wah.
Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da’wah. Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da’wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader (liqa’). Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11). Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da’wah". Pada giliran berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?". Maka ia pun absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dak-wah. Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da’wah, baik halaqah atau pun musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, "in lam takun bihim falan takuna bighoirihim".
Di Titik Lemah Ujian Datang
Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A’raf Ayat 163 : "Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji mereka karena kefasikan mereka". Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan ujian.
Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda’wah lebih sedikit waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau ada sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da’wah sekarang secara ekonomi semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya sedang dibawah.
Seorang masyaikh da’wah ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak rekannya untuk mulai aktif berda’wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda’wah, da’wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. "Ternyata kayanya kaya begitu saja", ujar Syaikh tersebut.
Ternyata kita temukan kuncinya, "Demikianlah kami uji mereka karena sebab kefasikan mereka". Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang, pada hari Jum’at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da’wah datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara. Tapi kalau mereka bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila diam salju itu tak akan me-nyingkir, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari.
Iman dan Pengendalian Kesadaran Ma’iyatullah
Aqidah kita mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa kehendak ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya tamu-tamu yang akan menghalangi kewajiban da’wah. Apa mereka fikir orang-orang itu bergerak sendiri dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu lain yang tidak menghalangi aktifitas utama dalam da’wah? Tanyakan kepada pakarnya, aqidah macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH menguasai segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas da’wahnya tidak berfikir perasaan sang isteri yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga sebenarnya batu ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da’wahnya atau keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ? Yang ia beri mereka makanan dari kekayaan ALLAH ?
Karena itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa’, syuro atau jaulah. Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali, sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan. Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan "Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang". Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan diperjuangkan. Berda’wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling menopang dan memecahkan problematika da’wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai saja bisa dikhayalkan oleh mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.
Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi popularitas, riya’ mungkin– dimasa ujian – akan menemukan orang yang terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun.Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya ‘selamat’ dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.
Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib) ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan.
Seni Membuat Alasan
Perlu kehati-hatian – sesudah syukur – karena kita hidup di masyarakat Da’wah dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu. Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. "Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka", demikian ujarnya lirih. Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ? "Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri jauh dari kebaikan itu", demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai'Llah.
Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da’wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman maaf, "Afwan ya Akhi".
Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia Besar
Kelengkapan Amal Jama’i tempat kita ‘menyumbangkan’ karya kecil kita, memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama’i kita, tanpa harus mengklaim telah berjasa kepada Islam dan da’wah. "Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan : ‘Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur" (Qs. 49;17).
ALLAH telah menggiring kita kepada keimanan dan da’wah. Ini adalah karunia besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu – karena ketidakpuasan yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan sempurna – menunggu musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan : "Nah, rasain !" Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah kebahagiaan ini?.
Saling mendo’akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata : "Untukmu pun hak seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta fi'Llah.
Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.

Hidup merupakan perjuangan, berjuang untuk menunaikan tugas dakwah yang mulia. Tugas yang tak pernah usai seiring perjalanan waktu. Malah semakin bergulirnya waktu semakin bermunculan tugas baru. Sebagaimana komentar seorang pujangga, ‘terbitnya fajar, merekahkan harapan cerah dan membawa sekelumit beban’. Akan tetapi bagi seorang aktivis dakwah waktu menjadi jalannya kehidupan. Sehingga kader dakwah selalu menata waktunya demi kehidupan yang ia jalani agar senantiasa siap menyongsong tugas yang ada dihadapannya.

Bukanlah sesuatu yang dipungkiri bahwa tugas dakwah memang bukanlah tugas yang ringan. Ia banyak liku dan kendala yang rumit. Baik dari pihak eksternal ataupun dari internal sendiri. Terkadang tugas dakwah menjadi beban berat untuk dipikul. Terlebih lagi bagi mereka yang berkepribadian rentan dan rapuh. Tugas itu menjadi tembok besar yang teramat sulit untuk dilewati. Mereka akan berkecil hati menatap tugas demi tugas. Terasa berat untuk menggerakan kaki dan tangan menerima tugas tersebut.

Namun tidak demikian bagi kader pilihan. Mereka akan berupaya maksimal untuk dapat menunaikan tugas mulia itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan kader yang berkepribadian amal da’awy akan menyongsongnya dengan gembira. Tidak ada dalam diri mereka, kamus lelah dan ciut menyambut tugas. Karena tugas itu akan menjadi momen untuk mengukir sejarah hidupnya dengan tinta emas bagi kemenangan dakwah ini. Ia menjadi mulia bersama dakwah atau mati dengan keharuman sikap perilakunya dalam amal Islam.

Ketika Syaikh Mutawalli Sya’rawi menyampaikan pidatonya dalam suatu acara, bahwa amanah umat ini teramat berat. Karena kompleksitas masalah yang dihadapinya. Dan disertai penghalangnya dari musuh-musuh umat yang tidak pernah henti untuk menghancurkannya. Disamping itu kader dakwah yang memandu amanah ini sulit untuk didapatkan. Maka kepada siapa amanah umat ini diserahkan?. Hasan Al Banna bergumam dalam hatinya ketika mendengar ceramah sang Syaikh, ‘aku ingin, akulah orangnya yang akan mengemban amanah itu. Beginilah sikap kader dakwah yang brilian dalam menyambut tugasnya.

Menyikapi kenyataan ini bahwa tugas dakwah dan kepribadian kader merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dimana keduanya saling mempengaruhi. Maka perlu disadari pada seluruh kader untuk membangun dirinya agar menjadi kader-kader pilihan yang sanggup memikul tugas dakwah ini dengan hati lapang. Sehingga tugas demi tugas dapat tertunaikan dengan baik. Bila kader dakwah tidak lengah dalam masalah ini dan selalu berusaha untuk meningkatkan kepribadian dirinya dalam mengemban amanah ini maka ia dapat menaklukan dunia sebagaimana obsesi Imam Hasan Al Banna Rahimahullah. Sang Imam pernah mengungkapkan obsesinya dalam Risalahnya Kepada Pemuda, bahwa ia bisa menaklukan dunia dengan kader-kader pilihan dibawah binaannya. ‘Siapkan 12 ribu kader, aku akan bina mereka dan aku akan taklukan dunia dengan bersama mereka’.

Melalui pemahaman ini upaya untuk meningkatkan kepribadian diri dalam mengemban tugas dakwah ini menjadi perilaku harian bagi kader dakwah.

Tidak boleh ada kesempatan yang terbuang dan tidak terpakai untuk agenda ini. Agar kepribadiannya tidak melempem, tidak pula mendua tetapi kepribadian yang tangguh dan ulet dalam amal dakwah. Selayaknya setiap kader menata dirinya dengan sungguh-sungguh agar dapat merealisasikan obsesi sang Imam. Untuk itu para kader dakwah perlu menyiapkan diri agar memiliki kepribadian yang dapat menuntaskan tugas dakwah dan merealisaikannya:

1. Bina ruhil ghirah (Membangun Ruh Keghairahan)

Menyadari banyaknya tugas dakwah yang perlu diemban, kader dakwah harus membangun keghairahannya. Keghairahan untuk terus berbuat dan berjuang demi tegaknya dakwah. Sehingga semangatnya berkobar-kobar. Tidak pernah lemah sedikitpun dalam menghadapi rintangan. Tidak pernah layu dengan bergulirnya zaman. Tidak pernah gentar karena tantangan. Ia bagaikan batu karang di tengah lautan yang kokoh menghadapi terjangan ombak.

Abul ‘Ala Al Maududi mengingatkan kader-kadernya, ‘bila kalian menyambut tugas dakwah ini tidak sebagaimana sikap kalian terhadap tugas yang menyangkut urusan pribadi kalian maka dakwah ini akan mengalami kekalahan yang telak. Oleh karena itu sambutlah tugas ini dengan ghairah. Amatlah tepat taujih Abul ‘Ala Al Maududi ini bila melihat sederetan tugas dan harapan umat. Bila saja kader dakwah memahami dengan betul maka mereka akan berupaya untuk menjaga keghairahannya agar tidak pernah redup sedikitpun. Karena ia akan berakibat fatal dalam menunaikan tugas ini.

Sebaliknya jiwa yang berghairah dalam menyambut tugas-tugasnya akan mudah untuk menyelesaikannya. Ia bahkan dapat menemukan celah-celah sempit untuk menjadi peluang besar yang akan menjadi menyebab kemenangan dakwah ini. Ia tidak pernah mundur tatkala bahaya menghadang. Ia tidak lelah ketika peluh bercucuran. Yang ada dalam benaknya adalah kami siap mengembannya untuk sebuah kemenangan.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim”.. (Ali Imran: 139 – 140).

Karena itu sepantasnya bagi kader untuk selalu berusaha meningkatkan ghairahnya melalui amalan-amalan yang disunnahkan Rasulullah SAW. sehingga ghairahnya tidak kendur. Apakah dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, mengkaji sejarah kepahlawanan Islam, membayangkan pahala dan balasan yang dijanjikan Allah SWT., bercermin dari kehidupan kader-kader daerah terpencil yang sangat bersemangat untuk menyebarluaskan dakwah ini ataupun dengan kiat-kiat lainnya. Amalan tersebut menjadi bahan bakar untuk semangatnya agar selalu bergelora.

Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid mengingatkan “gelorakan semangatmu wahai ikhwah dan jangan kendur sedikitpun marilah maju bersama kafilah dakwah ini. Siapa yang tidak lagi bersemangat maka janganlah ikut barisan kami”.

2. Tasyji’u ruhil mubadarah (Membangkitkan semangat inisiatif

Memahami tugas dakwah yang rumit maka setiap kader hendaknya selalu membangkitkan semangat berinisiatif. Agar dapat mensikapi dengan cepat apa yang sedang dihadapi dakwah ini. Tentu dengan mengacu pada kententuan syar’i. Sehingga aktivis dakwah tidak linglung dan bingung untuk segera berbuat atas sesuatu yang perlu segera disikapi. Selayaknya seorang kader tidak pernah mati inisiatifnya. Ia selalu berinisiatif untuk membela dakwah dengan berbagai potensi yang ada pada dirinya.

Seorang pujangga mengingatkan bahwa matinya inisiatif akan menutup banyak peluang. Malah ia melihat apa yang dihadapannya menjadi momok yang menakutkan. Ia akan menjadi orang yang penakut pada sesuatu yang belum terjadi bahkan ia sudah membayangkan dengan bayang-bayang hitam yang sangat mengerikan. Umat dan dakwah ini akan gembira terhadap kader yang kaya inisiatif. Sebagaimana gembiranya orang tua pada anaknya yang berinisiatif tinggi. Sang anak menyemirkan sepatu ayahnya ketika sang ayah hendak berangkat kerja. Ia suguhkan air minum hangat untuk ayahnya yang baru tiba. Ia rapikan belanjaan ibunya ketika datang dari pasar. Ia bersihkan alat-alat masaknya dan lain sebagainya. Orang tua akan sangat senang dengan perilaku anaknya dan ia akan banggakan dihadapan saudara dan tetangganya.
Syaikh Sayid Muhammad Nuh menceritakan murabbinya Syaikh Abbas Asisi yang selalu kaya inisiatif dalam berdakwah. Beliau bukan hanya kaya akan ide dan gagasan tetapi kaya pula dengan sikap dan perbuatannya. Hingga banyak orang yang tertautkan hatinya pada dakwah karena inisiatifnya yang teramat tinggi. Ada pemuda yang tertarik pada dakwah karena ia menyebut namanya yang telah ia hafal. Ada pula orang yang berjiwa kasar menjadi pengikut dakwah lantaran ia buka dengan dialog-dialog yang menarik. Dan masih banyak lagi kisah lainnya.

Kader yang berinisiatif tidak hanya semata mengandalkan point-point buku manual melainkan ia juga dapat melakukan sesuatu dengan tepat dan benar sesuai masanya yang sedang dihadapinya. Inisiatif memang tidak lahir begitu saja. Ia selalu beriringan dengan kebiasaannya untuk berbuat. Kebiasaan berbuat dapat menerobos celah sekecil apapun untuk menemukan hal-hal baru. Oleh karena itu Allah SWT. merintahkan orang-orang beriman untuk senantiasa berbuat.

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.(At Taubah: 105).

3. Bina ruhil mas’uliyah (Membangun jiwa tanggung jawab terhadap dakwah)

Tanggung jawab kader terhadap dakwah tidak boleh berkurang. Kader hendaknya selalu membangun rasa tanggung jawabnya setiap saat.

Berkurangnya tanggung jawab kader pada dakwah ini dapat memporak-porandakan amanah umat ini. Kader yang bertanggung jawab pada tugas tidak bisa bersantai-santai/beruncang kaki sementara kader lainnya sedang sibuk menunaikan tugas.

Jiwa tanggung jawab ini sangat dikaitkan dengan keimanan yang melekat padanya. Juga dikaitkan dengan kesertaannya menjadi umat Muhammad SAW. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,

“Bukanlah golongan kami orang yang tidak punya perhatian terhadap urusan kaum muslimin”. (Bukhari).

Sangatlah logis bila tanggung jawab terhadap dakwah ini berhubungan erat dengan kesertaannya sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Karena merekalah yang bertanggung jawab langsung terhadap kesinambungan dakwah ini.

Tersebar luas dakwah ini atau tidak ada pada pundak mereka. Mereka yang menjadi pelanjut dakwah ini telah mendekatkan dirinya dengan para Nabi. Lantaran mereka telah melaksanakan hal yang sama dilakukan para Nabi.
Kader dakwah yang bertanggung jawab pada tugas kadang tidak bisa tidur nyenyak. Ia senantiasa berpikir keras untuk untuk kemajuan dakwah. Ia merasa malu bila tidak dapat berbuat apa-apa. Ia merasa sedih bila dakwah tidak berkembang. Ia sangat senang kalau dakwah ini menggeliat dan meraih banyak pengikut. Ia risih bila meninggalkan tugas yang masih berceceran di sana-sini. Dan ia akan senantiasa siap menyongsong tugasnya. Wajarlah bila Imam Hasan Al Banna memandang sikap kader yang tidak bertanggung jawab pada tugasnya sebagai perbuatan dosa.

Oleh karena itu kader dakwah dalam menyongsong tugas mulianya seperti pengikut Nabi Isa AS. yang setia. Merekalah kaum Hawariyun sangat peka pada tanggung jawab dan tugasnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri”. (Ali Imran: 52).

4. Tarqiyatu ruhil badzli wat tadhhiyah (Membangkitkan semangat pengorbanan)

Pengorbanan dan perjuangan sesuatu yang niscaya. Perjuangan tidak dapat dipisahkan dengan pengorbanan. Dakwah suci ini bergerak dengan deras karena pengorbanan para kadernya. Maka semangat pengorbanan harus terus hidup di hati kader dakwah agar menjadi kepribadian mereka yang sesungguhnya. Sehingga mereka akan selalu terdepan dalam pemgorbanan.

Karenanya tidak ada dalam sejarah sebuah perjuangan ideologi yang dibangun tanpa perjuangan. Maka sudah menjadi suatu keharusan untuk berkorban dengan apa yang ada padanya demi tegaknya dakwah mulia ini.

Kader-kader yang siap berkorban menjadi syarat mutlak untuk suatu kemenangan. Dengan jiwa ini jalan mencapainya menjadi mulus. Perjalanan meraih kemenangan bak tanpa hambatan. Adalah hal patut bagi seluruh kader dakwah memberikan sesuatu yang amat diperlukan dakwah ini. Ini menjadi tanda keringanan dirinya untuk berkorban. Dalam berkorban untuk dakwah tidak pernah terbetik untuk menolaknya. Bahkan sedapat mungkin memberikan apa yang sangat berharga dalam dirinya. Jiwa dan raga.

Semangat semacam inilah yang melancarkan futuhat dakwah di berbagai negeri. Termasuk ketika menaklukan Romawi. Khalid bin Walid RA. ditanya pembesar Romawi perihal kepahlawanan kaum muslimin sehingga mereka bisa menaklukkan Romawi. Panglima Khalid RA. menjawab, ‘Kami dapat berada di depan mata kalian dan menaklukkan negeri kalian karena kami datang bersama orang-orang yang cinta mati sebagaimana kalian mencintai hidup’. Tentunya pengorbanan semacam ini pengorbanan yang maksimal. Memang Allah SWT. hanya menerima pengorbanan hamba-Nya yang maksimal. Seperti dalam Firman-Nya.

“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Kabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Kabil). Ia berkata (Kabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (Al-Maidah: 27).

Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid mengingatkan bahwa dalam perjalanan dakwah ini janganlah bersikap seperti umat Nabi Musa yang duduk-duduk berdiam diri saja menunggu datangnya kemenangan dari perjuangan Nabinya. Akan tetapi berbuat banyaklah untuk jalan dakwah ini dengan senantiasa selalu berkorban dan tidak pernah kendur semangatnya untuk berkorban. Memang semestinya demikian.

Tentu saja semangat berkorban ini tidak akan kendur manakala sikap kepatuhan kader pada ajaran ini tidak berkurang secuilpun. Mereka mematuhi ketentuan yang sudah seharusnya dijalankan. Mereka mengokohkan ruh maknawiyahnya setiap saat. Mereka berada dalam stamina spiritual yang prima. Said Hawwa menegaskan bahwa pengorbanan merupakan kepatuhan dan kepatuhan adalah syarat kemenangan. Maka siapkanlah sarana-sarana kemenangan dengan meningkatkan semangat berkorban terus menerus agar kemenenagan menjadi kenyataan yang dekat.

5. Tarqiyatu ath-Thaqah adz-Dzatiyah (Meningkatkan potensi diri)

Untuk dapat melaksanakan tugas mulia ini kader dakwah mesti menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan potensi dirinya. Agar ia bisa memberikan apa saja yang dibutuhkan dakwah ini. Meningkatkan potensi diri berawal dari penggalian potensi dan penajamannya. Adalah kemestian bagi kader untuk dapat mengenali potensinya. Sehingga ia tahu betul kemampuannya selaras dengan keperluan dakwah ini.

Menyadari kedudukan potensi kader bagi kelangsungan dakwah ini amat berarti maka para kader perlu mencermati dan mempertajamnya. Karena apapun potensi yang dimilikinya sangat berguna bagi dakwah ini. Sekalipun seperti butiran pasir. Memang secara fisik sebutir pasir sangat kecil adanya.

Dan bila dibandingkan dengan material lainnya dalam sebuah bangunan terasa begitu amat sangat kecil. Tampaknya ia bukanlah unsur penentu dalam kekokohan bangunan tersebut. Betul adanya asumsi ini bila satu butir pasir saja yang berpandangan demikian. Akan tetapi jika seluruh butiran pasir beranggapan sama maka rubuhlah bangunan tersebut.

Karena itu kader dakwah tidaklah boleh memandang remeh terhadap berbagai potensi yang diberikan kader lainnya. Malah harus menghargai potensi-potensi tersebut dan menyemangati untuk berupaya terus meningkatkannya. Sebab Allah SWT. menyukai orang-orang yang dapat ikut serta dalam barisan dakwah ini dengan potensi yang diberikan-Nya.

“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (Al-Isra’: 84)

Sedapat mungkin setiap waktu yang bergulir potensi kader semakin tajam. Seiring berjalannya waktu potensi kualitas kader semakin membaik. Seperti ungkapan seorang ulama tatkala berjumpa dengan temannya menyatakan ‘tidak aku temukan dalam dirinya setiap berlalunya waktu kecuali semakin membaik kepribadiannya’. Bila kondisi ini menjadi watak dan kepribadian para kader dakwah. Tidak mustahil kemenangan ini amat sangat dekat.

Hayawiyatun Harakiyatun (Kedinamisan Gerak Dakwah)

Adalah suatu kepatutan bagi kader dakwah untuk mengkondisikan kepribadiannya sedemikian rupa. Dengannya gerak dakwah ini akan semakin dinamis. Bahkan akan semakin mulus melenggangkan badannya untuk berkembang dan tersebar luas. Penyebaran dakwah yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan pelosok wilayah. Sehingga kenikmatan dakwah ini dirasakan secara merata. Ini menjadi indikasi kedinamisannya.

Sebagaimana pertumbuhan fisik manusia yang dinamis adalah ketika seluruh organnya berkembang seimbang. Perkembangan tubuh yang imbang untuk dapat menjalani hidupnya yang semakin hari semakin menuntut kekuatan organ tubuhnya. Sehingga tidak boleh ada satu selpun dalam tubuhnya yang ngawur perkembangannya. Karena hal itu berdampak pada kesehatan dan kekuatan tubuhnya melakukan gerak hidupnya.

Adalah kewajiban kader dakwah untuk memenuhi kepribadian dirinya yang berimbas pada kedinamisan gerak dakwah ini. Dan kepribadian ini menjadi watak harian para kader. Maka mulailah berbenah diri secepat mungkin memenuhi tuntutannya. Terlebih bahwa kedinamisan dakwah ini memiliki dampak yang sangat besar. Bagaikan air yang terus mengalir. Aliran air akan menjadi suatu kekuatan dan energi kehidupan. Sebaliknya air yang diam tidak mengalir akan berakibat rusaknya susunan senyawa yang ada sehingga dapat merusak zat benda lainnya.

Kedinamisan gerak dakwah ini akan berdampak pada:

1. Isti’dadu lit tanfidz (Kesiapan dimobilisasi di setiap lini)

Kesiapan kader dakwah untuk bisa dimobilasasi bagi kemenangan merupakan dampak dari gerak dakwah yang dinamis. Keberadaan kader di berbagai lini dapat memudahkan memikul tugas yang semakin banyak. Selayaknya memang bagi Kader dakwah menyadari akan fungsi dan perannya. Sehingga ia dapat selalu siap sedia dimobilisasi dalam untuk proyek besar dakwah ini. bahkan kesiapan dimobilisasi dan berada pada seluruh lini dari dakwah ini menjadi indikasi kualitas kader. Sebagaimana ungkapan Rasulullah SAW. tentang prajurit yang baik adalah mereka yang berada pada tugasnya masing-masing. Bila ditugaskan pada barisan depan ia ada di sana. Dan bila ditugaskan di bagian belakang ia pun menjalankan tugasnya di sana dengan baik.

Berada pada posisinya masing-masing, kader dakwah tidaklah boleh gentar apalagi kecewa dan mengeluh. Sebab semua itu tidak akan bermanfaat bagi dirinya untuk menjalankan tugasnya. Melainkan ia sambut dengan hati senang gembira dan selalu bermohon kepada Allah SWT. agar Dia senantiasa memberikan kekuatan untuk menunaikan tugas tersebut. Sehingga ia akan menjadi satu barisan prajurit yang gagah perkasa menyelesaikan amanahnya.

“(Yaitu) orang-orang yang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran: 172).

Kesiapan kader berada pada lini dakwah yang beragam karena menyadari bahwa pos-pos dakwah ini tidak boleh ada yang kosong. Kekosongan pos dakwah dapat membuka pintu kekalahan. Terlebih lagi pada pos yang sangat strategis. Cukuplah peristiwa Uhud menjadi pelajaran berharga bagi kader dakwah. Dimana pos-pos yang diringgalkan kadernya dapat menjadi peluang bagi musuh untuk mengobrak-abrik barisan kaum muslimin. Oleh karena itu apapun yang ditugaskan dakwah ini untuk menempati lini-lininya dan siap dalam keadaan dimobilisasi mesti diterima dengan antusias dan mengistijabahinya. Malah bila perlu selalu beranggapan bahwa justru disitulah letak kehidupan bagi dakwah ini.

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan”. (Al-Anfal: 24).

Meski demikian tidak menutup peluang untuk menyampaikan pendapatnya tentang lini yang paling tepat bagi dirinya. Namun yang perlu diingat adalah sikap kesiapannnya untuk dimobilisasi tidak boleh sampai hilang.

2. Taqwiyatu matanah at tanzhimiah (Mengokohkan soliditas struktural)

Gerak dakwah yang dinamis berdampak pula pada kesolidan struktural dakwah. Apalagi dengan keadaan kadernya yang selalu dalam kondisi siap sedia. Keadaan ini akan mejadikan struktural tidak akan pernah keropos. Sebab sering kali penyebab kekeroposan struktural lantaran gerak dakwah yang asal menggeliat dan kadernya yang dipenuhi dengan qadhaya internal.

Sudah dapat dipastikan bahwa kader yang selalu rebut dengan urusan internal konflik akan menggembosi perjalanan dakwah. Malah gerak dakwah ini menjadi rusuh, jalan tak beraturan dan berarah.

Umar bin Abdul Aziz RA. memerintahkan kepada seluruh jajaran panglimanya untuk mencermati para prajuritnya. Agar selalu memonitor mereka sehingga dapat mengetahui aktivitas apa yang sedang mereka lakukan. Tidak dibenarkan bagi mereka berdiam diri atau tidak dalam barisannya. Perhatian yang sedemikian rupa untuk mempersempit ruang bagi kekeroposan struktural. Karena prajurit yang tidak berada dalam barisan amal akan berpeluang menjadi perusuh.

Ketahanan struktural dapat menjadi tameng yang amat kuat melawan serangan musuh. Serangan sebesar apapun tidak akan mempan untuk menerobos masuk ke dalamnya. Ketahanan ini sekaligus melindungi prajurit yang ada di dalamnya. Oleh karena itu Allah SWT. mewanti-wanti agar selalu menjaga daya tahan struktural melalui persatuan dan kesatuan prajurit yang ada di dalamnya.tidak gaduh dengan persoalan internalnya. Tidak ribut dengan qadhaya dakhiliyahnya.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Ali Imran: 103)

3. Tawsi’atu munawarati ad da’wah (Meluasnya Manuver Dakwah)

Dampak lainnya adalah manuver dakwah semakin meluas. Ia tidak dihambat oleh urusan-urusan internal sehingga langkah geraknya semakin melebar. Apalagi misi dari dakwah ini berkembang. Maka gerakannya harus selalu berkembang baik sisi jumlah kadernya, wilayahnya, jangkauan tanggung jawabnya, tuntutan dan kebutuhannya serta sisi perkembangan lainnya
Rasulullah SAW. selalu mengamati perkembangan demi perkembangan dakwah ini dengan mendapatkan informasi dari para sahabatnya. Sehingga beliau dapat membayangkan masa-masa yang akan terjadi pada dakwah dan umatnya setelah hamasah nabawiyah(kepekaan kenabiannya) tentunya.

Paling tidak dengan kondisi kader dan struktural yang mapan tanpa hambatan yang berarti bagi dakwah ini penyebarluasan dakwah akan semakin pesat dan cepat. Sehingga dakwah ini kembali pada ashalahnya yakni miliki semua orang dari berbagai kalangan bukan hanya pada kalangan tertentu yang sangat terbatas.

Bila seluruh jajaran kader menghiasi dirinya dengan kepribadian kader dakwah sedemikian rupa dan gerak dakwah ini semakin dinamis tanpa henti atau stagnan dalam geraknya maka futuhat-futuhat dakwah ini semakin dekat. Dan pintu-pintu kemenangan itu semakin terbuka. Serta serombongan manusia akan berbondong-bondong menerimanya. Tinggal permasalahan adalah sejauh mana kemauan kader untuk menata diri dan menghiasinya dengan kepribadian tersebut. Disinilah masalahnya. Maka sejak saat ini tanamkan dalam diri kita masing-masing untuk berupaya mewujudkannya dalam diri kita. Tanpa kenal lelah dan henti. Berusahalah semaksimal mungkin semoga Allah SWT. membantu diri kita untuk mengaplikasikannya.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (An-Nur: 55)

Sumber: http://agussupriatna.com/as-syakhshiyah-al-jundiyah-kepribadian-kader-dakwah/

Copyright 2010 Bening Hati
Lunax Free Premium Blogger™ template by Introblogger